Pemerintah Percepat Pembangunan 66 Smelter

Pemerintah Percepat Pembangunan 66 Smelter

JAKARTA | NONBLOK.COM — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik menegaskan, pihaknya sudah berketetapan melarang ekspor mineral mentah atau bijih mulai 12 Januari 2014. Sesuai amanat Pasal 103 dan Pasal 170  UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) para pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan pemegang Kontrak Karya (KK) wajib melakukan peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

Terkait pengolahan dan pemurnian mineral tadi, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan PP tersebut, perusahaan pemegang KK dan IUP yang telah melakukan pemurnian dengan kadar tertentu masih boleh melakukan ekspor mineral olahan atau konsentrat hingga 2017.

Menteri Jero Wacik menerangkan, pemerintah tengah mempercepat pembangunan 66 unit pabrik pengolahan  mineral (smelter). “Dari 66 itu, 16 smelter sudah mencapai progres 6-10 persen atau masuk tahap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan 15 unit tahap peletakan batu pertama (ground breaking) atau mencapai antara 11-30 persen,” urai Jero di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (13/1/2014).

Selanjutnya, terang Jero, sebanyak 10 smelter mencapai progres 31-50 persen atau memasuki tahap pertengahan konstruksi, dan 25 unit tahap akhir konstruksi (51-100 persen). “Di luar itu, 112 smelter sedang dalam tahap studi kelayakan,” ungkapnya.

Disebutkannya, smelter yang sudah sampai tahap 100 persen antara lain PT Manoken Surya di Cikarang untuk zirkon, PT Delta Prima Steel (pasir besi), PT Meratus Jaya Iron Steel di Kalimantan Selatan (besi), PT Cilegon Indofero (nikel), PT Krakatau Posco (besi). Selain itu, PT Indotama Ferro Alloy (mangan), PT Indonesia Chemical Alumina di Tayan (bauksit), dan PT Cahaya Modern Metal Mining (nikel).

Lalu, PT Bintang Delapan Mineral (nikel) tercapai 53 persen, PT Sebuku Iron (bijih besi) 40 persen, PT Kembar Emas 35 persen, PT Lumbung Mineral Sentosa di Bogor (timah hitam) 35 persen, PT Multi Baja Industri di Tuban, Jatim (nikel) 20 persen, PT Sumber Surya Daya Prima (pasir besi) 20 persen, dan PT Citra Jaya (nikel) 8 persen.

Jero berharap, perusahaan tambang tidak perlu menunggu sampai tiga tahun untuk menyelesaikan pembangunan smelternya. “Kalau bisa dalam berapa bulan, kenapa tidak,” katanya.

Sesuai Permen ESDM 1 Tahun 2014, kadar minimum konsentrat yang bisa diekspor adalah tembaga 15 persen, bijih besi 62 persen, pasir besi 58 persen dan pelet 56 persen, mangan 49 persen, seng 52 persen, dan timbal 57 persen.

Di sisi lain, pemerintah juga menerapkan disinsentif berupa pengenaan bea keluar (BK) bagi konsentrat tambang untuk mempercepat pembangunan smelternya.

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan, BK diterapkan secara progresif antara 20-60 persen mulai 2014 hingga 2016. BK sebesar 60 persen merupakan tarif maksimal sesuai aturan yang ada.

Untuk konsentrat tembaga, BK dikenakan 25 persen pada 2014, 35 persen semester pertama 2015, 40 persen semester kedua 2015, 50 persen semester pertama 2016, dan 60 persen semester kedua 2016.

Di luar tembaga yakni konsentrat besi, mangan, timbal, seng, besi ilmenit, dan titanium, BK dikenakan 20 persen pada 2014, 30 persen semester pertama 2015, 40 persen semester kedua 2015, 50 persen semester pertama 2016, dan 60 persen semester kedua 2016.

Jero mengatakan, penerapan UU memang berdampak pada perusahaan tambang yang sebelumnya mengekspor bijih.
“Perusahaan tambang itu sudah beroperasi lama dan untung banyak, jadi istirahat sebentar saja. Sambil saya desak 66 smelter segera beroperasi,” katanya.

Ia menambahkan, pihaknya bekerja sama dengan aparat kepolisian, TNI, dan bea cukai mengamankan pelaksanaan UU Minerba. “Tentu dalam masa transisi pasti ada persoalan. Tapi, kami harapkan dalam 1-2 minggu akan normal,” katanya.

Jero juga memperkirakan, pada 2015, sudah terjadi surplus antara dampak sesudah dan sebelum penerapan UU Minerba dan makin meningkat di tahun-tahun selanjutnya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada periode Januari-Oktober 2013, volume ekspor bijih nikel tercatat 46,5 juta ton, bijih dan pasir besi 16,11 juta ton, bauksit 47,01 juta ton. Dengan pemberlakuan UU Minerba, maka Indonesia tidak lagi mengekspor mineral-mineral mentah atau bijih tersebut.

Source : http://www.nonblok.com